Thursday, April 28, 2011

Mimpi I La Galigo di Makassar

Ketika kebanyakan orang berpikir tentang
, apa yang terlintas dalam pikiran adalah biasanya informasi dasar yang tidak terlalu menarik atau bermanfaat. Tapi ada lebih banyak untuk
dari sekadar dasar.
Oleh Suriani Mappong

KOMPAS.com " Lantunan suara kecapi dan seruling mengiringi siluet aktivitas masyarakat tanah Luwu, Sulawesi Selatan, yang ingin memperlihatkan kekayaan sumber daya laut dan darat mereka.

Beberapa lama berselang, muncul tiga lelaki yang membawa pohon lontara yang dikenal sebagai tanaman multifungsi, termasuk menjadi media penulisan naskah kuno seperti Sureq Galigo sebelum abad ke-14 yang mengisahkan perjalanan I La Galigo dengan kejayaan Kerajaan Luwuq.

Itu hanya merupakan penggalan dari pementasan teater tari dan musik I La Galigo yang digelar pada 23-24 April 2011 di Benteng Rotterdam, Makassar.

Setelah sekian tahun karya sastra terpanjang di dunia itu melanglang buana dipentaskan di Eropa dan Asia, akhirnya teater yang terinsipirasi dari Sureq Lagaligo yang diketahui panjangnya mencapai 6.000 halaman"melebihi panjang karya sastra India, Mahabharata"akhirnya dapat dipentaskan di tanah kelahirannya.

Menurut sutradara termahal ketiga di dunia, Robert Wilson, yang membawa pementasan I La Galigo kembali ke Makassar, epos dari budaya tanah Bugis ini merupakan cerita terlengkap skala internasional karena merupakan akumulasi dari seni, budaya, sampai sains.

"Pementasan I La Galigo ini akan membuka akses, bukan hanya untuk bidang kebudayaan, melainkan juga industri kreatif lainnya, khususnya di bidang pariwisata," katanya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Wilson tidak tanggung-tanggung melibatkan lebih banyak seniman Sulawesi Selatan (Sulsel) dan menggunakan peralatan panggung yang sebagian besar diperoleh dari Makassar.

Mengenai tingkat kesulitan dalam memperkenalkan karya sastra milik masyarakat Sulsel ini, dia mengakui hal itu tidaklah mudah.

"Tidak mudah membawakan La Galigo dalam dunia teater, khususnya karya sastra yang sama sekali tidak dikenal di dunia," ujarnya.

Dia mengatakan, sebenarnya lebih mudah mengerjakan karya lain daripada La Galigo. Oleh karena itu, untuk membawa I La Galigo ke pentas dunia, ia terpaksa harus mengambil risiko yang sangat berat.

Tantangan terberat pada saat itu, menurut dia, mencari penerjemah naskah La Galigo dan membuat "visualisasi" yang dapat menarik perhatian dunia internasional.

Oleh karena itu, Gubernur Sulsel H Syahrul Yasin Limpo mengatakan, kerja berat Wilson melalui pementasan spektakuler di Makassar ini dapat menjadi pendorong bagi masyarakat Sulsel untuk mengangkat karya-karya besar di daerah ini.

"Kalau sekarang, karya ini diperhatikan orang lain. Kita jangan tinggal diam, tetapi bisa berbuat menyempurnakan karya-karya ini," katanya.

Menyikapi hal tersebut, dia berjanji bahwa pementasan epos I La Galigo akan dimasukkan dalam kalender kepariwisataan Pemerintah Provinsi Sulsel dan nasional.

Sebagai wujud terima kasih masyarakat Sulsel, Gubernur Sulsel menyerahkan keris Kerajaan Luwu kepada tim kreatif opera I La Galigo yang diwakili Fanco Laera dari Change Performing Art.

Semakin banyak informasi otentik tentang
Anda tahu, semakin banyak orang mungkin adalah untuk mempertimbangkan Anda ahli
. Baca terus untuk fakta
bahkan lebih yang Anda dapat berbagi.

"Ini satu bentuk apresiasi masyarakat Sulawesi Selatan terhadap tamu agung yang telah berhasil membawa kisah I La Galigo di teater besar di dunia," ujarnya.

Antusiasme penonton

Meskipun penonton epos I La Galigo yang terdiri dari 12 adegan itu tidak seheboh penonton bintang dunia Justin Bieber yang bertandang ke Jakarta, karya sastra tersebut cukup menghipnotis masyarakat pencinta budaya untuk berjejal di Benteng Rotterdam.

Hal itu terbukti dengan penjualan tiket pementasan I La Galigo yang sudah terjual sebanyak 350 lembar di Makassar dan 700 lembar terjual di Jakarta sebelum pementasan.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Makassar Rusmayani Madjid mengaku kewalahan menerima pemesanan tiket.

"Tiket sudah habis semua, bahkan undangan sebanyak 1.000 lembar yang dibagikan semuanya sudah dikonfirmasi untuk hadir," ujarnya.

Karena itu, dia menyampaikan permohonan maaf kepada sejumlah pihak yang tidak sempat memperoleh undangan karena kapasitas halaman Benteng Rotterdam sangat terbatas.

Adapun jenis tiket yang disiapkan panitia terdiri dari tiga kategori, yakni tiket Platinum Rp 500.000, tiket Titanium Rp 250.000, dan tiket Gold Rp150.000.

Tingginya animo masyarakat dan pejabat di Sulsel dalam menyaksikan pentas pertama di Indonesia ini membuat jumlah tiket yang dicetak panitia tidak cukup.

Akibatnya, sebagian masyarakat di kota berjulukan "Angin Mammiri" ini kecewa karena tidak bisa masuk di lokasi pementasan yang dijaga ketat oleh petugas keamanan.

"Pementasan ini terlalu eksklusif bagi kami mahasiswa kos-kosan dan masyarakat level menengah ke bawah, padahal masyarakat Sulsel berhak menikmati karya seni dan budaya sendiri," kata salah seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unhas, Anwar.

Karena itu, ia menyarankan agar pementasan I La Galigo selanjutnya di daerah ini harus lebih intensif dan tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Ini agar masyarakat umum di daerah ini lebih mengetahui dan mengenal seni budayanya, kemudian berujung pada kecintaan atas hasil karya leluhur.

Pementasan spektakuler tersebut turut ditonton Duta Besar Singapura untuk Indonesia Mr Ashok Kumar Mirpuri dan salah satu Konsulat Jenderal Amerika Serikat. Selain itu, ada pula para menteri, seperti Menpora Andi Alivian Mallarangeng dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa.

Tak ketinggalan, hadir pula pemrakarsa pementasan I La Galigo di Makassar, termasuk pengusaha Tanri Abeng, dan mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla.

Namun, sebagian penonton dari rombongan VVIP tersebut mengaku tidak mengerti jalan cerita epos I La Galigo yang didominasi gerak tari dan hanya sedikit menggunakan percakapan.

Kendati demikian, mereka cukup puas dengan melihat penampilan para tokoh yang diperankan dalam terater tari dan kolaborasi musik tradisional Bugis, Makassar, dan Toraja, serta musik modern.

Tata pencahayaan dan penataan panggung juga mendapat acungan jempol karena pementasan tersebut dirancang untuk skala internasional dan berkategori luar ruangan (out door).

Pada akhir pementasan, riuh suara tepuk tangan penonton menandakan kepuasan dan harapan agar masih ada atraksi seni budaya karya sastra spektakuler di daerah ini. Dengan demikian, ke depan, mimpi I La Galigo dapat terwujud menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Begitulah keadaannya sekarang. Perlu diketahui bahwa setiap subjek dapat berubah dari waktu ke waktu, jadi pastikan Anda mengikuti berita terbaru.

No comments:

Post a Comment