Sunday, June 12, 2011

Cara Mensyukuri Hidup Broto Wijayanto

Ketika Anda belajar tentang sesuatu yang baru, mudah merasa kewalahan oleh jumlah informasi relevan yang tersedia. Artikel informatif akan membantu Anda berfokus pada titik sentral.

IRENE SARWINDANINGRUM

Bagi BrotoWijayanto, seni teater tak semata hasrat memuaskan ekspresi diri, tetapijalan membuka harapan bagi sesama. Sejak di bangku kuliah, lulusanInstitut Seni Indonesia Yogyakarta pada 2007 ini sudah mengolah seniteater untuk meringankan beban anak-anak kurang beruntung.

Tahun2006 Broto melatih teater anak-anak korban gempa di Bantul, DIYogyakarta, untuk pemulihan trauma. Ia juga membantu pementasan amalanak-anak dengan kanker darah. Tujuh tahun terakhir ia rutin melatihteater bagi anak-anak dan remaja tunarungu di Yogyakarta yang tergabungdalam Deaf Art Community (DAC).

Tak ada janji imbalan darikegiatan itu. Semua ikhlas dilakoninya di sela-sela profesinya sebagaiguru honorer Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) I Kasihan, Bantul.Bahkan, sering kali ia harus nombok ongkos pementasan.

Namun, ujarBroto, pengalaman itu tak dapat ditukar dengan materi duniawi. Sayabelajar banyak dari mereka. Belajar memahami orang, bersyukur padahidup, dan belajar bahasa isyarat, kata Broto yang merasa beruntungistrinya, Dona Mestikasari, mendukung aktivitasnya tersebut.

Darisemua aktivitas tersebut, latihan teater DAC yang istimewa. Tak banyakkata terucap dari belasan remaja dan anak-anak peserta latihan.Komunikasi lewat gerak-gerak jari membentuk bahasa isyarat. Lakon yangdikembangkan nyaris tanpa kata-kata. Para pemain lebih mengeksplorasigerak untuk menyampaikan jalan cerita.

Pada awal berada di antaraanak-anak tunarungu, ia merasakan keterasingan luar biasa. Saya merasajadi orang yang tak normal karena tak mampu memahami komunikasi mereka,kata pria bernama asli Muh Arif Wijayanto itu.

Rasa terasing itumirip perasaan yang harus dihadapi para penyandang tunarungu. Dalamkehidupan nyata, merekalah yang terasing dan dianggap tak normal. Merekajuga kerap rendah diri karena merasa tak dihitung dan beberapa kalidiejek orang sekitarnya.

Saya sempat grogi dan gemetaran. Sayatak tahu harus bagaimana. Saya sama sekali tak punya konsep bagaimanaharus mengajar teater kepada penyandang tunarungu, kata Broto.

Namun,tembok keterasingannya runtuh seketika tatkala anak-anak ituberpantomim. Mereka amat mahir menggunakan bahasa dan isyarat tubuh.Meski tanpa kata-kata, bahasa tubuh mereka mampu menggambarkan maksudyang ingin disampaikan. Pertunjukan pantomim itu meyakinkan dia,penyandang tunarungu mampu menggeluti teater meski tanpa kata.

Brotopertama kali melatih sekaligus menyutradarai teater komunitas anak-anaktunarungu tahun 2004. Ia diajak kenalannya. Saat itu komunitasanak-anak dan remaja tunarungu yang dia latih di bawah pembinaanorganisasi pemerhati tunarungu Matahariku Social Voluntary Group(Matahariku).

Bahasa tarzan

Padaawal melatih, Broto menggunakan bahasa tarzan untuk berkomunikasikarena belum menguasai bahasa isyarat. Sebulan kemudian, ia mahirberbahasa isyarat. Ternyata tak sulit, tutur pria yang aktif di TeaterGandrik tersebut.

Seusai pementasan pertama, latihan teaterkomunitas itu berlanjut meski tak ada jadwal pentas. Lama-kelamaanlatihan teater itu lepas dari kegiatan Matahariku yang cakupankegiatannya lebih luas.

Jika Anda dasar apa yang Anda lakukan pada informasi yang tidak akurat, Anda mungkin akan tidak menyenangkan terkejut oleh konsekuensi. Pastikan Anda mendapatkan cerita
keseluruhan dari sumber-sumber informasi.

Saat Matahariku berhenti beroperasi,mereka meminta Broto terus melatih. Tak mungkin saya menolak karenaikatan di antara kami sudah seperti saudara, katanya. Komunitas itulalu hidup tanpa nama resmi. Sekitar tahun 2009 nama DAC dipilih.

Komunitastersebut dipertahankan tanpa ikatan dan tak berkeanggotaan tetap. Takada kewajiban membayar bagi peserta. Para penyandang tunarungu bebasdatang dan pergi mengikuti latihan teater asuhan Broto. Hanya menjelangpementasan pendataan dilakukan demi kelancaran acara.

Ketiadaanaturan itu bertujuan mempertahankan DAC sebagai komunitas terbuka,menjadi wadah yang membebaskan para penyandang tunarungu menuangkanekspresi. Adanya aturan dikhawatirkan membuat mereka enggan datang.

DACtelah pentas lima kali selama dua tahun terakhir. Dua kaliberturut-turut DAC tampil pada peringatan hari ulang tahun KotaYogyakarta. Pada pertengahan 2010 DAC pentas tunggal pertama denganlakon Kami Pun Anak Adam dan Hawa.

Pementasan itu mengungkapkankesedihan dan kemarahan penyandang tunarungu dalam kehidupan sehari-harikarena kesepian, terasing, dan sering dicemooh. Lakon ini dikembangkananak-anak sendiri. Saya hanya memoles dan memberi saran sedikit,katanya.

Bangun pemahaman

Bertujuanmembangun pemahaman masyarakat dengan penyandang tunarungu, DAC terbukabagi siapa saja yang ingin memahami dunia tunarungu. Setiap pementasanteater DAC bertujuan menyosialisasikan bahasa isyarat. Itu penting untukmembangun komunikasi penyandang tunarungu dengan masyarakat.

Salahsatu adegan pada Kami Pun Anak Adam dan Hawa, misalnya, menampilkanpuisi visual atau puisi yang dibacakan dengan isyarat tangan. Brotomenerjemahkan puisi itu agar dipahami penonton. Yang paling membuatsaya terharu dari puisi itu, bagaimana mereka kesusahan menata strukturkalimat karena tak pernah mendengarnya, kata Broto.

Seiringwaktu, peminat DAC terus bertambah. Ada 30-40 anak-anak dan remajatunarungu yang berlatih. Ada pula remaja dan mahasiswa berpendengarannormal yang rajin berlatih.

Tanpa pemasukan tetap, latihan teaterDAC biasanya memanfaatkan ruang di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) yangsedang tak digunakan. Setiap Minggu pagi mereka berlatih di AmphitheaterTBY. Untuk pementasan, Broto mengambil sebagian penghasilannya sebagaipenerjemah bahasa isyarat.

Broto beberapa kali menerjemahkanbahasa isyarat pada sejumlah acara. Bagaimanapun ini uang mereka karenasaya memperoleh dari kebersamaan dengan mereka. Jadi harus sayakembalikan untuk mereka, katanya.

Bagi para remaja DAC, teatermerupakan jalan seni yang menumbuhkan harapan di tengah senyapnya duniamereka. Latihan teater menumbuhkan rasa percaya diri. Mereka lebihberani keluar dari keterasingannya dan menetapkan cita-cita merengkuhkehidupan.

Dulu saya takut ketemu orang, juga sering kesepian.Sejak ikut teater ini, saya tidak takut diejek, tidak takut ketemuorang. Saya juga tidak kesepian karena banyak teman di sini, kata salahseorang anggota DAC, Arief Wicaksono (20), dengan bahasa isyarat yangditerjemahkan Broto.

Selain melatih DAC dan menjadi guru di SMKN IKasihan, Bantul, Broto mengajar teater untuk anak-anak Art for Childrendi TBY dan pemain dalam sejumlah pementasan. Baginya, teater tak hanyauntuk seni semata. Seni kian kaya makna saat menjadi jalan menghidupkanharapan sesama.

 ***

Broto Wijayanto   ¢ Nama asli: Muh Arif Wijayanto  ¢ Lahir: Desa Bolo, Demak, Jawa Tengah, 11 Februari 1976  ¢ Istri: Dona Mestikasari (27)

Pertanggungan ini artikel informasi adalah sebagai lengkap dapat hari ini. Tapi kau selalu harus meninggalkan terbuka kemungkinan bahwa penelitian di masa depan dapat mengungkap fakta-fakta baru.

No comments:

Post a Comment