Monday, September 26, 2011

Aku Bukan Teroris - 72

Paragraf berikut ini merangkum karya para ahli
yang benar-benar akrab dengan semua aspek
. Heed saran mereka untuk menghindari kejutan
.
Novel  Handoko Adinugroho

Dengan berbagai pengetahuan cekak yang kuketahui, aku berusaha membuat ibu siuman. Kugosok tubuh beliau dengan minyak kayu putih. Sebagian kuoleskan di bawah hidung beliau agar aromanya tercium dan merangsang kesadaran beliau. Kulakukan semua itu sambil menggendong Hanifah yang tak mampu kutenangkan. Sebagai bocah, ia terlihat sangat histeris. Ketakutannya memuncak. Meski kematian belum termasuk dalam pemahamannya, namun naluri membawanya ke sebuah ancaman yang sangat menakutkan. Alhamdulillah, tak lama ibu siuman. Wajah beliau sangat pucat. Pertanyaan pertama yang ia ucapkan, membuatku tak mampu lagi membendung perasaan. œKita akan pindah ke mana, Abidah? Kutumpahkan semua perasaanku dalam wujud yang paling primitif: menangis.

Pertanyaan itu tak bisa kujawab. Belum kufikirkan. Bahkan tak pernah kufikirkan sama sekali. Ketika ibu berulang-ulang memintaku pindah, aku berusaha meyakinkan beliau bahwa saran itu tak perlu dilakukan. Permasalahan yang kami hadapi tak sebesar yang beliau kira. Aku masih yakin, semua masih terkendali. Sungguh sebuah keyakinan yang sia-sia. Sebab saat ini, setelah kehadiran Pak Jafar, keyakinanku benar-benar runtuh.Aku malu.Malu kepada ibu, malu kepada keyakinan butaku.œKita pulang ke kampung saja? ibu kembali bertanya sekaligus memberi usulan, meski suaranya terdengar sangat lirih dan lemah.

Aku belum bisa menjawabnya. Aku belum bisa memutuskan. Mengapa uang tiba-tiba menjadi begitu berkuasa? Dalam kondisi tanpa uang seperti yang kualami saat ini, semua terasa sangat sulit. Bahkan untuk sekadar berencana pun tak kuasa kulakukan. Aku terbentur pada permasalahan yang sangat klasik, yakni biaya. Bagaimana cara mengangkut perabotan di rumah ini? Jika tak ingin pulang ke kampung, bagaimana kami akan membayar kontrakan rumah yang kelak akan kami tempati? œBagaimana, Abidah? Kita akan kemana? Aku menggeleng.Sangat pelan. œSaya belum tahu, Bu. Saya belum bisa berfikir.

Mereka dari Anda tidak akrab dengan yang terakhir pada
sekarang memiliki setidaknya pemahaman dasar. Tapi ada lagi yang akan datang.

Aku merasa bodoh. Sangat bodoh. Seandainya sejak lama sudah kufikirkan saran ibu, tentu setidaknya aku sudah punya kepastian hendak ke mana jika diharuskan keluar dari kampung ini. Jika sejak lama sudah kupertimbangkan kemungkinan ini, niscaya aku pun sudah punya keputusan yang jelas. Keputusan yang sangat dibutuhkan pada situasi yang sulit semacam ini. Memang, daganganku sudah tak lagi laku, namun jika terpaksa, beberapa perabotan rumah bisa mulai kujual dan hasilnya bisa kugunakan untuk biaya mengangkut kepindahan kami.

Mendadak uang selaksa iblis yang menggoda. Seringainya yang tajam ia perlihatkan, seolah menunjukkan kemenangan. Mempertontonkan kekuasaan: bahwa ia mampu menguasai semua manusia. Bahkan manusia yang merasa dirinya paling taat sekalipun. Sungguh bodoh. Dungu. Aku harus mengutuki diriku sendiri.

Tiba-tiba aku ingat kembali suamiku. Jika ada dia, tentu permasalahan tak akan sepelik ini. Bahkan mungkin tidak akan pernah terjadi pengusiran seperti yang kualami saat ini. Aku ingin dirinya. Ya, Allah, aku merindukannya. Hari ini, setahun sudah ia tak tentu rimba. Setahun?

Masya Allah, aku baru sadar. Kontrakanku memang hampir habis. Artinya, diusir maupun tidak, aku memang sudah harus pergi dari tempat ini. *** AKU masih punya sisa waktu tiga hari untuk bermukim di rumah ini. Itu jika dihitung dari tanggal kami membayar sewa kontrak dulu. Dalam waktu sesingkat itu, aku sudah harus bisa memutuskan hendak ke mana kami pergi. Kucoba berhitung, perabot apa saja yang sekiranya bisa kujual. Sesungguhnya aku merasa bersalah. Aku merasa sangat berdosa menghianati kepercayaan suamiku. Semua barang yang ada di rumah ini adalah titipannya. Aku tak boleh semena-mena menjual tanpa persetujuannya.Tetapi, ke mana aku harus meminta izin?Ke mana aku bisa mendapat kerelaannya?

Maka, kuanggap ibu sebagai perwakilan dari suamiku. Kerelaan beliau berarti kerelaan suamiku. Persetujuan beliau berarti persetujuan suamiku.

Jadi sekarang Anda tahu sedikit tentang
. Bahkan jika Anda tidak tahu segalanya, Anda sudah melakukan sesuatu yang berharga: Anda telah memperluas pengetahuan Anda.

No comments:

Post a Comment